TEMPO.CO, Jakarta - Kecepatan kapal yang dikendarai Noldy Masegi menurun begitu memasuki gundukan karst yang bertebaran di Teluk Temolol, Pulau Misool, Kabupaten Raja Ampat, awal Mei lalu. Namun kapal cepat bernama “Jou” dengan mesin 400 PK (paardenkracht) itu tak segera berlabuh. Noldy, nakhoda dari The Nature Conservancy Indonesia, harus meliuk-liukkan kapal untuk menghindari karang yang menyembul di permukaan air.
Tujuan pertama perjalanan saya dan rombongan yang terdiri atas wartawan, aktivis Nature Conservancy, dan The Society of Indonesian Environmental Journalist hari itu adalah gua keramat. Dari kejauhan, tempat itu seperti pecahan karst biasa yang tertutup pepohonan. Tapi, jika dilihat seksama, ada tulisan “Allah” dalam aksara Arab di bagian atas karst tersebut.
Sampai di mulut gua, saya pun turun ke lokasi. Di dekat dermaga kayu sederhana terdapat dua makam besar yang tidak bernama. Hanya ada tulisan beraksara Arab dan Latin yang menjelaskan tanggal pemakaman, 13 Juni 1977. "Itu merupakan makam penyebar agama Islam di Misool. Tidak ada yang tahu namanya," ujar Nugroho Arif Prabowo, Koordinator Komunikasi Nature Conservancy.
Kuburan itu menghadap ke mulut gua yang di dalamnya penuh stalagmit. Dari makam, saya turun ke laut dan berenang tidak terlalu jauh ke area stalagmit. Airnya membuat kulit sedikit mati rasa, namun segar. Semakin jauh ke dalam gua, air bertambah dalam.
Menurut cerita tokoh Misool, kata dia, suami-istri penyebar Islam itu berasal dari Banda, Maluku Tengah, yang datang menggunakan perahu dayung. Keduanya tinggal di tempat yang kini dijadikan makam itu. Dalam wasiatnya, mereka meminta dimakamkan secara Islam di tempat mereka tinggal.
Permintaan tersebut ditekankan karena pada masa itu masyarakat biasanya menaruh jenazah pada karst dan dibiarkan hingga menjadi tulang-belulang. Tak jauh dari gua keramat, saya menyaksikan lubang-lubang pada karst yang berisi tulang manusia.
Selanjutnya: Lukisan di Dinding Batu